top of page
Search

URGENSI PENGINTEGRASIAN PENDIDIKAN AGAMA DAN IPTEK DITENGAH DIKOTOMI PENDIDIKAN DI INDONESIA

  • Misran
  • Dec 13, 2016
  • 10 min read

Pendahuluan

Wajah pendidikan Indonesia bisa dikatakan berada dalam dilemma, dimana terjadinya dualitas pendidikan yang dianut oleh Indonesia. Dualitas yang dimaksud yaitu adalah adanya pemisahan pendidikan, antara pendidikan agama yang mana berada dibawah naungan Kementerian Agama dan dan juga pendidikan umum yang berada dibawah kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Dualitas pendidikan ini melahirkan dikotomi pendidikan yang berkepanjangan dan berlangsung hingga saat ini.

Sejarah mencatat bahwa lahirnya dikotomi pendidikan di Indonesia tidak terlapas dari sistem pendidikan yang diterapkan oleh kolonial Belanda saat menjajah Indonesia. Dikotomi pendidikan ini lahir dari sistem pelitik etis dimana pemerintah Belanda mendirikan sekolah-sekolah rakyat yang tak lain hanya untuk menciptakan para pekerja yang nantinya akan dipergunakan sebagai pekerja untuk pemerintahnnya.

Saat pemerintah belanda mendirikan sekolah untuk rakyat, kurikulum yang diterapkan hanya proses pengembangan ilmu pengetahuan yang diperlukan dalam dunia kerja. Pendidikan agama pada sekolah-sekolah tersebut tidak diajarkan sehingga produk pendidikan yang dihasilkan hanya sebagai pekerja yang tidak mengenal pendidikan agama kalaupun ada, pendidikan itu hanya didapatkan dari pendidikan keluarga. Disisi lain, lembaga pendidikan agama seperti pesantren juga lebih mengedepankan pendidikan agama ketimbang pendidikan ilmu pengetahuan sehingga melahirkan dualism pendidikan atau dikotomi pendidikan pada saat itu.

Di era moderen ini, dikotomi pendidikan pun masih berlangung di negeri ini. Pendidikan tetap terbagi atas dua jenis yaitu pendidikan agama yang berada dibawah naungan Kementerian Agama yang lebih ditekankan pada pendidikan agama saja dan mengesampingkan ilmu pengetahuan walaupun tetap mengajarkan Ilmu pengetahuan umum namun memiliki porsi yang sangat sedikit. Hal serupa juga dilakukan dilakukan di oleh lembaga pendidikan umum yang berada dibawah naungan Kemnterian yang berbeda yakni Kementerian Pendidikan Nasional. Di lembaga pendidikan umum, pendidikan ilmu pengatahuan dan Teknologi (IPTEK) lebih ditekankan ketimbang pendidikan agama yang memilik porsi jam ajar yang sangat sedikit.

Menanggapi hal tersebut, perlu ada terobosan baru yang harus lakukan baik itu pemerintah maupun lembaga terkait dimana sistem pendidikan harus sudah mulai menghilangkan pola pendidikan dikotomis antara Pendidikan Agama dan IPTEK. Pengintegrasian pendidikan sudah sangat perlu untuk diterapkan sehingga produk pendidikan nantinya tidak hanya akan melahirkan manusia-manusia pekerja yang handal dalam pemanfaatn IPTEK tetapi juga bisa menghasilkan manusia-manusia yang beriman dan bertakwa serta berkhlak mulia.

Pengintegrasian pendidikan senada dengan bunyi Undang-Undang Pendidikan dan Kebudayaan pasal 31 ayat 5 yang berbunyi “Pemerintah memajukan ilmu pengetahuan dan tekhnologi dengan menjunjung tinggi nilai-nilai agama dan persatuan bangsa untuk kemajuan peradaban serta kesejahteraan umat manulia”.[1]Bunyi pasal tersebut, sangat jelas diterangkan bahwa tujuan pendidikan Indonesia tidak hanya menciptakan manusia-manusia yang handa dalam memanfaatkan IPTEK namun juga menjadi manusia-manusia yang memiliki nilai-nilai agama.

Sejarah Dikotomi Pendidikan Pendidikan

Perbincangan pada era moderen ini, tetap membahas tentang permasalahan dikotomi antara kedua disiplin ilmu tersebut (Agama dan IPTEK). Sebelum melangkah lebuh jauh perlu ditelaah apa yang dimksud dengan dikotomi pendidikan. Dalam tulisannya, Taufik menjelaskan bahwa dikotomi merupakan pemisahan suatu ilmu pengetahuan menjadi dua bagian yang satu sama lainnya saling memberikan arah dan makna berbeda dan tidak ada titik temu antara kedua jenis ilmu tersebut[2].

Sejarah mencatat bahwa terjadi dikotomi pendidikan trjadi ketika didunia Islam pada saat itu yaitu sekitar abad 16 dimana diakalangan umat Islam terjadi perkembangan pandangan Jabariah sehingga umat Islam pada waktu mengalami kemunduran pemikiran dikarenakan banyak ulama dan pemikir Islam tidak lagi menggunakan bahkan sebagian yang lain melarang penggunakan akal dalam proses mencari ilmu pengetahuan. Mereka beranggapan bahwa segala Sesuatu yang terjadi di dunia sudah menjadi ketetapan Tuhan sehingga manusia tidak memiliki kemampaun dalam melakukan sesuatu.

Di Indonesia sendiri, dikotomi mulai muncul ketika pemerintah kolonial Belanda menerapkan politik etis dengan anyak mendirikan sekoloah-sekolah rakyat atau yang disningkat (SR). Kurikulum pendidikan yang diterapkan oleh pemerintah kolonial saat itu sama sakali tidak menerapkan ilmu agama didalamnya. Banyak kalangan masayarakat yang tidak setuju dengan penerapan pendidikan yang demikian utamanya kalangan cendekiawan Muslim dan para ulama pada saat itu sehingga mereka mendirikan sekolah-sekolah agama dalam bentuk Pesantren yang menerapkan kurikulum berfokus hanya pada pendidikan agama dan tidak memberikan pelajaran tentang ilmu pengetahuan umum dan tekhnologi.

Dengan terbentuknya kedua jenis lembaga pendidika tersebut (Sekolah Rakyat dan Pesantren) mengakibatkan terjadinya dualitas pendidikan dimana suatu lembaga pendidikan hanya menerapkan pendidikan IPTEK tanpa dibarengi dengan pendidikan agama dan disisi lain juga terbentuk lembaga pendidikan yang hanya berfokus pada pendidikan agama tanpa mempelajari IPTEK.

Islamisasi Ilmu Pengetahuan

Dialam dunia Islam sendiri, banyak kalangan pemikir yang menerapkan pendidikan integral antara pendidikan agama dan IPTEK diantaranya Ibnu Sina, Ismail al-Faruqi dan beberapa yang lainnya. Awal munculnya gagasan tentang Islamsasi pengetahuan tidak terlepas dari perkembngan ilmu pengetahuan di dunia barat. Perkembangan ilmu pengetahuan barat yang tanpa batas dimana objek kajian baik itu manusia maupun benda hanya dianggap sebagai objek semata sehingga terjadi eksploitasi. Perkwmbangan pengetahuan tersebut tidak disertai dengan nilai-nilai agama dan budaya, bahkan agama dan budaya dianggap merupakan pengahmbat dalam proses kemajuan tersebut.

Adapun alasan lain munculnya gagasan Islamisasi Pengetahuan adalah terjadinya kemerosotan ilmu pengetahuan hampir disegala bidang baik itu, politik, ekonomi, sosial, teknologi dan sebagainya dalam dunia Islam. Hal ini jugalah yang mendorong beberapa pemikir Islam untuk melakukan terobosan dalam mengembangkan ilmu pengetahuan di dunia Islam. Proses Islamisasi ilmu atau Islamisasi sistem pendidikan Islam sekaligus bermakna proses membaik pulih panca utama kepada kelemahan umat Islam dalam pelbagai kehidupan tersebut.[3]

Upaya Islamisasi pengetahuan juga merupakan proses yang dilakukan untuk menanamkan nilai nilai kemanusiaan yang dilandasi dengan ajaran Islam seperti yang dikemukakan oleh Muhammad Syafiq bahwa fungsi Islamisasi Ilmu adalah untuk memperbaiki serta membina semula dsiplin kemanusiaan, sains social dan sains tabii dengan suntikan dasar baru yang konsisten dengan ajaran Islam.[4]

Dalam proses Islamisasi Ilmu, ada prinsip-prinsip dalam menjalankannya seperti yang dikemukakan oleh Ismail Raji Al-Faruqi diantaranya:

1. Ke-Esaan Allah (Tauhid)

Tauhid memberikan identitas kepada peradaban Islam yang mengikat semua unsurnya bersama-sama dan menjadikan unsur-unsur tersebut sebagai suatu integral yang organis.

2. Kesatuan Alam

Alam semesta memunyai tata atau aturan yang berbeda-beda agar manusia mengetahui tentang alam semesta. Selain itu, kesatuan alam ini mengandung makna adanya suatu kosmik yang didalamnya terdapat berbagai objek, baik itu sebagai substansi-substansi, kualitas-kualitas, hubungan-hubungan, maupun peristiwa-peristiwa.

3. Kesadaran kebenaran dan kesatuan pengetahuan.

Kebenaran sumber pada realitas jika semua realitas berasal dari sumber yang sama yaitu tuhan maka kebenaran tidak mungkin lebih dari satu. Apa yang disampaikan melalui wahyu tidak akan mungkin akan berbeda apalagi bertentangan dengan realitas yang ada, karena Dia-lah yang menciptakan keduanya.

4. Kesatuan Hidup

Dalam hal ini, Al-Faruqi membagi atas beberapa poin diantaranya:

  1. Amanah Tuhan; hanya manusia yang mampu memikul amanah dari tuhan;

  2. Khalifah; khalifah merupakan prasyarat mutlak bagi tegaknya paradigma Islam dimuka bumi ini; dan

  3. Kelengkapan; kelengkapan yang dimaksud disini adalah syariah.

5. Kesatuan Umat Manusia

Konsep ini mengajarkan bahwa setiap pengembangan ilmu harus berdasar dan bertujuan untuk kepentingan kemanusiaan.[5]

Merujuk kepada kelima prinsip diatas, maka bisa disimpulkan bahwa ketika proses dalam menggali ilmu pengetahuan maka harus dilandasi dengan nilai-nilai Islam dan berdasarkan atas syariat sehingga tidak terjadi ekploitasi terhadap objek baik itu manusia maupun benda.

Modernisme dalam Pandangan Islam

Sebelum melangkah kedalam pembahasan yang lebih dalam tentang modernisme, perlu kita perhatikan terlebih dahulu tentang kata modernisme atau kata moderen yang berasal dari kata modernus (latin) yang artinya “baru saja”.[6] Jadi kata moderen bermkana sebagi suatu hal yang baru saja terjadi sehingga modernisme bisa dipahami sebagai suatu hal atau kejadian yang baru. Jadi dalam perkembangannya moderen adalah proses perkembangan dari yang lama menjadi baru.

Modernisme merupakan perkembangan pemikiran, ilmu pengetahuan dan teknologi. Perkembangan tersebut ditandai dengan berkembangnya industrialisasi di negeri barat seperti Eropa dan Amerika. Berkembangnya pemikiran ini tidak tanpa masalah, dalam perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang begitu cepat dan tidak dibarengi dengan semangat spiritualitas sehingga pengetahuan terasa hampa dan meningkatnya tingkat eksploitasi. Hal ini yang dikiritik oleh Nurcholis Madjid bahwa kehidupan telah kehilangan spiritualitas dalam peradaban manusia. Hal ini terjadi karena dominasi nilai-nilai materialistic yang bersifat semu dan sesaat.[7]

Modernisasi juga ditandai dengan berkembangnya pemikiran sekuler (sekulerisme). Dimana dalam pemikirian ini membedakan atau memberikan jarak antara Agama dan ilmu pengetahuan sehingga berdampak pada tumbuhnya individualisme dikalangan masyarakat. Pemikiran sekuler (sekulerisme) bagi sebagian kalangan diidentikkan dengan sekulerisasi namun dalam pandangan Nurcholis Madjid. Ia membedakan antara “sekulerisme” dengan “sekulerisasi”. Sekulerisasi tidaklah dimaksudkan sebagai penerapan sekulerisme dan mengubah kaum muslimin sebagai sekularis. Sekulerisasi yang dimaksudkan oleh Nurcholis Madjid adalah sebuah proses pembebasan, yaitu menduniakan nilai-nilai yang semestinya bersifat duniawi, dan melepaskan umat Islam dari kecenderungan mengukhrawikannya.[8]

Islam tidak menolak modernisasi atau proses perubahan kearah positif, dikarenakan Islam bukanlah agama yang statif melainkan agama yang dinamis dan bisa beradaptasi dengan segala tuntutan zaman. Allah berfirman: ‘Katakanlah: "Perhatikanlah apa yang ada di langit dan di bumi. tidaklah bermanfaat tanda kekuasaan Allah dan rasul-rasul yang memberi peringatan bagi orang-orang yang tidak beriman".(Q.S. Yunus: 10)1. Ayat tersebut mengisyaratkan agar kita memperhatikan segala ciptaan Allah dan menggunakan potensi akal manusia agar memahami tentang gejala alam. Dalam proses mengekplorasi pengetahuan, tidak bisa dipungkiri keharusan menggunakan teknologi dan hal itu tidak bertentangan dengan ajaran Islam. Dan pada ayat selanjutnya yang berkenaan dengan hal tersebut diatas dapat kita kaji pada surah berikut: Dan (juga) pada dirimu sendiri. Maka apakah kamu tidak memperhatikan? (Q.S. Az-Zariyat: 21)Ayat tersebut pun juga mengisyaratkan agar kita untuk berfikir dan bisa manganalisa tanda-tanda kebesaran Allah bahkan dari diri kita sendiri. Dalam proses tersebut, tentu diperlukan teknologi untuk lebih mengenal secara mendalam terhadap gejala alam. Kedua ayat tersebut menunjukkan bahwa Islam tidak menolak IPTEK bahkan justru menganjurkan it uterus mengembangkan ilmu pengetahun dan teknoligi.

Pada hakikatnya proses modernisasi tidak dilarang dalam agama Islam. Hanya saja segala bentuk ekplorasi dan ekploitasi yang berlebihan itulah yang dilarang dalam Islam. Agama Islam sangat sarat akat nilai (velue) dimana perkembangan ilmu pengetahuan dalam Islam bertujuan untuk kemaslahatan ummat bukan untuk merusak alam dan peradaban.

Integrasi Pendidikan Agama dan IPTEK.

Di zaman moderen ini dimana pendidikan dibenturkan dengan tuntutan akan tersedianya pekerja yang siap pakai setelah selesai dari jenjang pendidikan, banyak institusi pendidikan baik formal maupun non formal hanya berfokus pada peningkatan life skill dalam bidang IPTEK dan kurang memberikan perhatian terhadap pendidikan agama sehingga hasil yang diciptakan hanya membentuk manusia-manusia yang layaknya robot, mampu bekerja namun tidak memiliki kepekaan sosial. Pola pendidikan semacam ini, hanya akan menhasilkan manusia-manusia individualis, apatis dan tanpa nilai-nilai kemanusiaan.

Pola pendidikan semacam ini, banyak diterapkan oleh sekolah-sekolah umum dimana kurikulum pendidikannya hanya memberikan porsi lebih tehadap ilmu pengetahuan umum dan penguasaan teknologi dan memberikan porsi yang sangat sedikit terahadap pendidikan agama. Dikotomi pendidikan tidak hanya dilakukan oleh sekolah-sekolah umum, namun juga dilakukan oleh sekolah-sekolah yang notabenenya merupakan sekolah agama itu sendiri. Banyak sekolah agama juga hanya menfokuskan kepada pendidikan semata dan memberikan porsi yang sangat sedikit terhadap pendidikan ilmu pengetahuan umum dan teknologi.

Pengintegrasian pendidikan sudah sangat perlu untuk dilakukan mengingat pentingnya keduan ilmu tersebut (pendidikan agama dan IPTEK). Sejarah integrasi pendidikan Islam dan IPTEK sudah terjadi sejak lama. Banyak tokoh-tokoh Islam yang sangat berperan penting dalam peekembangan ilmu pengetahuan seperti Al-Buruni (1047 M/ 262-440 H) ensiklopedis muslim, Ibnu Sina (980-1037) seorag filosuf dan ahli kedokteran, Ibnu Haitan (w. 1039) seorang fisikawan, Ibnu Khaldun, Ibnu Al-Nafis Haryan (687 H/ 1288 M), Al-Khawarizmi, dan juga termasuk Mahmud Al-Kasghiri (abad 11) dan Al-Asma’I (828).[9]

Dari fakta sejarah diatas, menunjukkan bahwa perkembnagan IPTEK dalam dunia Islam bukanlah hal yang baru, melainkan sudah lama terintegrasi dalam dunia Islam. Hal ini menunjukkan bahwa proses integrasi pendidikan bukanlah hal yang mustahil namun sebaliknya.

Proses pendidikan integral, dewasa ini dianggap sangat perlu dalam menjawab tantangan zaman. Terjadinya perkembangan yang terus menerus yang berimplikasi dengan permintaan akan ketersediaan tenaga kerja siap pakai untuk menopang perekonomian nasional. Namun pendidikan nasional juga harus didasarkan atas nilai-nilai agama khususnya Islam sehingga mampu menghasilkan manusia-manusia yang handal dalam pemanfaatan IPTEK sekaligus memiliki wawasan keilmuan agama yang mendalam dan juga bisa menjadi manusia yang bermanfaat bagi sesama atas dasar agama Islam.

Dewasa ini, kita bisa melihat dikotomi terhadap pendidikan Agama khususnya Islam, dan juga pendidikan umum (sekuler). Banyak institusi pendidikan baik formal maupun nonformal hanya menerapkan sistem pendidikan yang memisahkan antara keduanya. Pendidikan Agama dan IPTEK harusnya berjalan beriringan seperti yang diungkapkan oleh H.O.S Tjokroaminoto bahwa keduniaan dan ilmu pengetahuan tentang agama Islam tidak boleh dipisah-pisahkan. Dengan kata lain kehidupan dunia harus paralel dengan kehidupan diakhirat.[10] Hal ini dimaksudkan agar tidak terjadi dimana satu pihak memiliki pengetahuan agama namun tidak memiliki pengetahuan tentang IPTEK sehingga tidak mampu menopang kehidupannya didunia. Begitu pun sebaliknya dimana pihak yang lain memiliki pengetahuan tentang ilmu pengetahuan dan IPTEK namun tidak dilandasi dengan pendidikan agama sehingga terjebak pada kehidupan yang kosong dan perilaku yang diluar dari nilai-nilai agama Islam.

Dalam mewujudkan integrasi pendidikan Agama dan IPTEK, jalan yang harus ditempuh ialah harusnya tidak ada lagi dikotomi antara keduanya. Pendidikan harusnya sudah mencakup kedua hal diatas. Pembinaan harus dilandasi dengan nilai-nilai Islam dalam mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi seperti konsep yang dikemukakan oleh Muhammad Iqbal bahwa sistem pendidikan integratif adalah dimana ambivalensi dengan sistem pendidikan yang berorientasi ukhrawi (agama murni) dengan sistem pendidikan yang berorientasi duniawi (umum/sekuler) dihilangkan.[11] Dengan kata lain bahwa, Konsep pendidikan Islam dan penanaman nilai-nilai luhur budaya harus dipandang sejajar dalam pengembangan ilmu pengetahuan dan Teknologi dengan tidak memihak pada satu sisi saja.

Dalam praktiknya, pembinaan integrasi tidak bisa hanya dilakukan oleh sebagian kalangan saja. Pembinaan yang terintegrasi dalam masyarakat harus dilakukan oleh semua kalangan baik itu praktisi, pemerintah, dan juga kalangan budayawan. Hal ini perlu mengingat hal ini bukanlah pekerjaan mudah yang bisa dilakukan dalam satu disiplin ilmu namun melibatkan interdisiplin ilmu.

Saat ini sudah ada upaya yang dilakukan oleh beberapa organisasi massa seperti Hidayatullah, Nahdatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah dengan penerapan pendidikan integral baik tingkatan Madrasah Ibtidayah (MI), MTs Integral dan juga SMK Islam yang menerapkan kurikulum berbasis pendidikan Integral Agama dan IPTEK. kemudian lembaga pemerintah yang mulai mendirikan sekolah seperti MTs Model dan Madrasah Aliyah Negeri yang mulai mengadopsi kurikulm bebasis agama dan pengetahuan umum. Meskipun lembaga pendidikan tersebut masih berada dalam naungan lembaga pemerintah yang berbeda yakni Kementerian Agama dan Kementerian Pendidikan dan Budaya Nasional dan meskipun juga didalam pengaplikasiannya dilapangan belum bisa dikatakan mkasimal namun langkah tersebut sudah merupakah langkap awal dalam mengatasi permasalahan dualisme penidikan di Indonesia.

Penutup

Perubahan paradigma pendidikan dan pembinaan saat ini sudah harus mulai dilakukan. Mengingat bahwa pengintegrasian interdisiplin ilmu baik pendidikan agama, ilmu pengetahuan dan teknologi sudah sangat penting untuk dilakukan. Perkembangan IPTEK yang begitu pesat harus sudah dibarengi dengan penguatan ilmu-ilmu agama. Jika hal tersebut bisa dilaksanakn secara maksimal tentu nantinya produk pendidikan akan menghasilkan manusia-manusia yang tidak hanya berkualitas dimana selain memiliki ilmu pengetahuan yang hebat dibidangnya dan penguasaan alat-alat teknologi namun juga akan menciptakan manusia-manusia yang beriman dan bertakwa serta mampu menghargai nilai-nilai.

Daftar Pustaka

[1] Taufik, Peta PemikiranPendidikan Islam di Indonesia(Telaah Dikotomi Pendidikan), Jurnal Hunafa Vol. 7 No. 2 Desember 2010

Umar, Muhd. Nasir, Gagasan Islamisasi Ilmu, Selangor: Utusan Publications & Distributions, 2015

Yasmadi, Modernisasi Pesantren: Kritik Nurcholis Madjid Terhadap Pendidikan Islam Tradisional, Jakarta: Ciputat Press, 2002

[1] PRRI, Panduan Pemasyarakatan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan KetetapanMajelis Permusrawatan Rakyat Republik Indonesia, (Jakarta: Sekretariat Jendral MPR RI, 2014), hal. 191.

[2] Taufik, Peta PemikiranPendidikan Islam di Indonesia(Telaah Dikotomi Pendidikan), (Jurnal Hunafa Vol. 7 No. 2 Desember 2010). hal. 147

[3] Muhd. Nasir Umar, Gagasan Islamisasi Ilmu, (Selangor: Utusan Publications & Distributions, 2015). hal. 20.

[4] Ibid. hal.19.

[5] Muaiyada, Pemikiran Islamisasi Ilmu Pengetahuan Menurut Ismail Rahi Al-Faruqi, (Surabaya: UIN Sunan Ampel, 2016) hal. 31.

[6] Ach. Firdaus Asyik, Konsep Modernisme Islam Menurut Fazlur Rahman, (Surabaya: IAIN Sunan Ampel, 2010). hal 19.

[7] Drs. Yasmadi, M.A, Modernisasi Pesantren: Kritik Nurcholis Madjid Terhadap Pendidikan Islam Tradisional, (Jakarta: Ciputat Press, 2002). hal. 114.

[8] Ibid. hal .31.

[9] Muslih, Implementasi Integrasi Agama dan Sains (Studi Pembelajaran Ayat-Ayat Kauniyah di SMA Transains Pesantren Tebuireng 2 Jombang), (Surabaya: UIN Sunan Ampel Surabaya, 2016). hal. 35

[10] Dr. H. Syarifuddin Daud, MA. Kompilasi Pemikiran Pendidikan H.O.S. Tjokroaminoto dan Perspektif Islam, (Makassar: Alauddin Press, 2014).

[11] Dra. Hj. Naharia Rumpa, M.Pd.I, Konsep Integrasi Pendidikan Dalam Pemikiran Muhammad Iqbal, (Palopo: STAIN Press, 2009). hal.117-118.

 
 
 

Yorumlar


  • Facebook
  • Twitter
  • LinkedIn

©2016 by Educational Integration. Proudly created with Wix.com

bottom of page